Periode pasca-1945 di Indonesia adalah masa yang penuh gejolak. Di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan, aktivitas renang mengalami kemunduran signifikan. Prioritas bangsa beralih sepenuhnya pada kedaulatan, menyebabkan olahraga air merana. Ini adalah Kemunduran Pasca-1945 yang tak terhindarkan, di mana fasilitas dan organisasi olahraga harus mengalah demi fokus yang lebih besar.
Sebelumnya, Masa Pendudukan Jepang telah membuka akses kolam renang bagi pribumi, mengakhiri diskriminasi kolonial. Namun, kegembiraan itu tak bertahan lama. Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia menghadapi agresi militer Belanda, menguras seluruh energi dan sumber daya bangsa.
Kolam renang yang dulunya menjadi tempat renang elit kolonial dan kemudian lebih terbuka di Era Jepang, kini banyak yang terbengkalai. Kurangnya pemeliharaan, kerusakan akibat pertempuran, dan tidak adanya alokasi dana membuat fasilitas seperti Kolam Renang Cihampelas kehilangan fungsinya sebagai pusat aktivitas renang.
Aktivitas renang juga merosot karena Organisasi Renang yang ada. Perkumpulan-perkumpulan yang pernah dibentuk, baik di Era Jepang maupun sisa-sisa Federasi Renang ala Belanda seperti NIZB 1940, bubar atau tidak aktif. Fokus utama adalah pada perjuangan fisik dan politik.
Para perenang yang sempat merasakan awal kompetisi regional kini tidak memiliki wadah untuk berlatih atau berkompetisi. Bakat-bakat baru pun sulit berkembang karena ketiadaan fasilitas dan struktur yang mendukung. Ini adalah Sejarah Gelap Kolam Renang yang berbeda, kali ini akibat kondisi internal bangsa.
Prioritas utama bangsa Indonesia saat itu adalah mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Sumber daya dialihkan untuk kebutuhan militer, pangan, dan pendidikan dasar, meninggalkan pengembangan aktivitas renang sebagai kemewahan yang tidak bisa didahulukan.
Meskipun terjadi Kemunduran Pasca-1945, semangat berenang tidak sepenuhnya padam. Di beberapa daerah, masyarakat masih mencoba memanfaatkan sungai atau danau untuk berlatih. Namun, ini dilakukan secara sporadis dan tanpa bimbingan profesional, mencerminkan minimnya aktivitas renang yang terorganisir.
Kondisi ekonomi yang sulit dan ketidakstabilan politik juga menjadi faktor besar. Masyarakat lebih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari daripada memikirkan rekreasi atau olahraga. Ini adalah refleksi dari perjuangan bangsa yang keras.
Cikal Bakal Renang Indonesia yang sempat tumbuh di era sebelumnya menghadapi ujian berat. Fondasi yang telah diletakkan terancam hilang di tengah pusaran revolusi. Ini adalah periode di mana aktivitas renang harus “bertahan hidup” secara mandiri.
Namun, di balik semua kesulitan ini, Zwembond Voor Indonesia (ZBVI) kemudian muncul, mencoba menyatukan kembali dan menghidupkan kembali aktivitas renang. Meskipun dalam skala kecil, ZBVI adalah bukti bahwa keinginan untuk berolahraga tidak pernah mati, bahkan di masa paling sulit sekalipun.